Sebelum Olimpiade 2024, mungkin tidak banyak yang mengenal Kinzang Lhamo. Bahkan mungkin tidak banyak juga yang mengenal negara asalnya, Bhutan. Namun, dia menjadi bahan pembicaraan di Olimpiade 2024 kali ini. Tidak, dia tidak menjadi pemenang. Dia bahkan cuma finis di posisi ke-80 pada cabang maraton kategori perempuan. Namun caranya finis yang membuat orang-orang kagum padanya.
Atlet Perempuan Bhutan Pertama
Lhamo sendiri merupakan pelari asal Bhutan, sebuah negara kecil di Asia Tengah. Negara ini terapit di antara Cina dan India. Bhutan, menurut survei, dianggap sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terlemah di dunia. Tapi dari sini lah Lhamo mengenal lari.
Pada usia 22 tahun di tahun 2020, Lhamo memasuki kemiliteran Bhutan. Dari sini lah Lhamo kemudian belajar lari. Ternyata, dia cukup jago, sehingga dia pun sering mengikuti turnamen maraton negaranya. Pada tahun 2024 ini, dia menjadi pemenang Maraton Internasional Bhutan dengan catatan waktu tiga jam 26 menit.
World Athletics, badan olahraga yang salah satu tujuannya mengurus kontingen yang akan berlaga di Olimpiade, sebenarnya menetapkan standar waktu dua jam 26 menit 50 detik sebagai waktu Kualifikasi yang harus dipenuhi. Namun, untuk meningkatkan kesadaran publik akan Bhutan, mereka pun mengizinkan Lhamo berkompetisi, meskipun waktunya sangat jauh di bawah standar waktu. Dia pun menjadi atlet perempuan Bhutan pertama dalam sejarah Olimpiade.
Memulai dengan Lambat
Lomba dimulai pada jam delapan pagi waktu Paris. Lhamo langsung tertinggal jauh di belakang dari permulaan lomba. Lhamo terlihat kesulitan untuk berlari dengan cepat.
Pada jam 10:22:55, Sifan Hassan dari Belanda melewati garis finis untuk meraih medali emas. Tiga detik di belakangnya, Tigst Assefa dari Ethiopia menyelesaikan lomba untuk meraih medali perak. 12 detik kemudian, Hellen Obiri dari Kenya finis di posisi ketiga untuk meraih medali perunggu. Setelahnya, beberapa pelari datang melewati garis finis.
Pada jam 10:33:42, Anne Luijten dari Belanda menjadi pelari ke-50 yang melewati garis finis. Di titik ini, sembilan (dari total 11 pelari) sudah menyatakan gagal finis. Ketika kemudian Santoshi Shrestha dari Nepal melintasi garis finis pada jam 10:55:06, tampaknya dia akan menjadi peserta terakhir yang finis. Banyak media yang sudah berkemas untuk pulang karena merasa tidak ada peserta lagi yang berlari. Mereka salah.
Pada jam 11:10, lebih dari 47 menit setelah Hassan melewati garis finis, layar besar di Paris menampilkan satu pelari. Ya, itu lah Lhamo. Ternyata, meskipun baru mencapai jarak 30-an kilometer, Lhamo menolak menyerah. Pada 11:32, layar besar di Paris menampilkannya lagi. Kali ini, dia sudah berjalan. Dia sudah sangat letih. Tetapi dia tidak mau menyerah dan terus berjalan. Seluruh penonton yang berada di sana seperti menunggu dia. Mereka bahkan ikut berjalan di sampingnya sebagai tanda semangat.
Finis 90 Menit Setelah Pemenang
18 menit kemudian, kamera mulai disorotkan ke arahnya. Dia mulai berlari lagi. Penonton-penonton yang sebelumnya ikut berjalan bersamanya, juga ikut berlari. Tersisa 100 meter. Tepat pada 11:52:59, dia pun menyelesaikan lomba. Dia lebih lambat 90 menit dan empat detik dari Hassan. Tapi penonton berteriak seolah dia yang menjadi pemenang.
Pada 11:56, tiga menit setelah dia finis, Lhamo, dengan kemampuan Bahasa Inggris yang patah-patah, mengeluhkan keram. Tim medis pun segera memberikannya obat. Dia pun ditandu ke sebuah kursi plastik untuk duduk. Pada momen ini, podium dikeluarkan, seperti menunggunya menyelesaikan lomba sebelum serenomi medali diberikan.
Dia bukan pemenang. Dia bahkan tidak mendapat medali. Namun dia akan abadi sebagai orang yang mengamalkan prinsip Pierre de Coubertin ketika menciptakan Olimpiade modern. “Yang terpenting dalam hidup itu bukan menang, tapi berpartisipasi.” Dan Lhamo, dengan partisipasinya di maraton ini, telah meletakkan Bhutan sebagai pembicaraan seluruh dunia.
Simak informasi olahraga terbaru secara lengkap di shotsgoal.com.